Buku bersampul ungu.

Saturn
3 min readJan 26, 2023

--

“Kamu juga enggak suka buku ini, kan?”

Kamu menatapku dengan senyum kecut ketika lirikan kita jatuh pada buku tebal dengan sampul dominan berwarna ungu. Tulisan ‘Matematika’ dicetak tebal dan besar di bagian atas.

Aku terkekeh kecil dan mengangguk dua kali meskipun nilai matematikaku selalu jadi yang paling tinggi di kelas. Aku mengelak, hanya untuk melihatmu duduk di hadapanku dan mengeluarkan pensil dari tas yang hampir tidak ada isinya.

Aku mengelak, demi matamu yang menatap kembali padaku kendati lebih dari separuh waktu kamu hanya fokus pada tugas matematika yang kamu bilang sulit jika tidak dikerjakan denganku.

“Untung ada kamu, jadi selesai lebih cepet.” Jemarimu menuliskan runtutan cara cepat yang kuberikan triknya dari pembimbing olimpiade minggu lalu. Aku menatap ponimu yang jatuh ke depan mata sementara kamu menatap garis-garis tipis di buku tugasmu. “Kamu baik banget.”

Aku pendiam, kata orang — katamu juga. Karena aku lebih suka membiarkan kamu berceloteh sendiri sembari mendumal akan sisa tugas yang kamu tinggalkan di rumah. Aku ingin menawarimu waktu dan tempat selain tepat setelah bel berbunyi dan ruang kelas yang sudah kosong, namun lidahku terlalu banyak dipagari oleh kelebihan pikiran yang banjir dari atas kepala, turun ke mana-mana. Lantas aku memilih diam.

Diam dan mendengarkan — menyimakmu, menghabiskan waktu istirahatku untuk mengajarimu hanya agar kamu mengucap terima kasih. Aku ingin kata-kata selain terima kasih, tapi tentu saja aku tidak berani meminta. Binar matamu yang sedikit lebih cerah dari biasanya karena tugas matematikamu sudah selesai pun, kurasa sudah cukup.

“Ya, kan?”

Mendadak matamu membalas tatapku, dan aku nyaris tersedak.

Bukan karena terkejut (mungkin itu juga, sedikit), tapi karena artinya buku sampul ungumu akan segera ditutup, tas kembali dirapikan, dan bangkumu akan diseret pergi.

Kamu tidak pernah menunggu jawabanku, dan aku tidak protes karena mungkin kamu tipe yang tidak sabaran. Atau mungkin, teman-teman futsalmu sudah menunggu di lapangan. Matahari luar sudah merindukanmu. Kamu sudah rindu pakaian olahragamu.

Dan aku? Aku hanya lima langkah keramik yang kamu lewati di antara puluhan, ratusan keramik lainnya sebelum sol sepatumu mencium aroma rerumputan yang membuatmu merasa jauh lebih bebas.

“Makasih, ya. Aku duluan.”

Aku mudah dilupa. Karena memang sudah sepantasnya begitu.

“Nanti kita kerjain bareng lagi kapan-kapan, oke?”

Kapan-kapanmu tidak pernah ditandai di kalender. Tanda tanyamu bukan untuk meminta persetujuan. Jadi aku tidak pernah mengangguk.

Dan ketika langkah kakimu sudah tidak terdengar, hangat di dalam dadaku ikut kabur. Kelasnya jauh lebih kosong meski hanya berkurang satu orang.

Aku, dalam hati, berharap kita sedikit lebih banyak waktu. Mungkin untuk berbincang, memakan kudapan yang sudah tidak begitu segar, bertukar nomor telepon, mengerjakan tugas kolase bersama, bertanya tentang keseharian beberapa hari terakhir, berbagi informasi tentang penyanyi kesukaan satu sama lain.

Lalu mungkin itu bukan hanya tentang kita yang mengerjakan tugas rumah bersama — bukan hanya tentang suara bangkumu yang diseret ke depan mejaku atau tas yang kupindah ke pangkuanku; bukan hanya tentang kening yang berkerut, bibir yang mengukir senyum tipis karena kamu menemukan jawabannya lebih dulu dari aku, atau ujung jemari yang selalu nyaris bersentuhan; dan akhirnya, bukan hanya tentang aku yang sengaja meminta untuk dijemput satu jam lebih lambat dan bilang ada konsultasi dengan pembimbing olimpiade demi untukmu yang menganggapku sebatas angin lewat.

Mungkin, lebih dari itu. Dan mungkin, aku harus kembali bangun.

--

--

Saturn
Saturn

No responses yet